Opini : Kebijakan Manajemen Wajib Belajar, Antara Idealisme dan Realita

Naila Launa Fauziah, ahasiswi UIN STS Jambi. Foto : dok pribadi
Naila Launa Fauziah, ahasiswi UIN STS Jambi. Foto : dok pribadi

Opini ini ditulis oleh : Naila Launa Fauziah

Pemerintah Indonesia telah mempersiapkan kebijakan Wajib Belajar 13 Tahun yang rencananya akan mulai diterapkan pada tahun ajaran 2025/2026. Program ini merupakan pengembangan dari kebijakan Wajib Belajar 9 dan 12 Tahun sebelumnya, dengan menambahkan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebagai bagian dari sistem pendidikan dasar yang wajib diikuti oleh seluruh warga negara. Kebijakan ini dirancang untuk memperkuat fondasi pendidikan sejak dini, meningkatkan angka partisipasi sekolah, serta mempersiapkan generasi muda menghadapi tantangan global melalui pendidikan yang merata dan berkualitas.

Bacaan Lainnya

Namun, meskipun tujuan yang diusung terkesan ideal dan penuh harapan, realitas di lapangan masih menunjukkan banyak tantangan yang belum terselesaikan. Kesenjangan akses pendidikan, keterbatasan sarana dan prasarana, serta hambatan ekonomi dan geografis menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah. Tanpa pembenahan menyeluruh dan pendekatan yang adaptif terhadap kondisi masyarakat, kebijakan ini berisiko hanya menjadi target administratif, bukan solusi nyata bagi masalah pendidikan di Indonesia.

“Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat digunkan untuk mengubah dunia,” ujar Nelson Mandela. Di Indonesia, semangat ini diwujudkan melalui kebijakan manajemen wajib belajar, termasuk program Wajib Belajar 13 Tahun yang akan mulai beroperasi pada tahun ajaran 2025/2026. Program ini mengembangkan program sebelumnya dengan mencakup Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA).

Kebijakan manajemen wajib belajar merupakan langkah pemerintah untuk menjamin setiap warga negara memperoleh pendidikan dasar dan menengah dengan fokus pada akses, pemerataan, dan kualitas pendidikan. Ini mencakup penyediaan sarana, pembiayaan, dan program pendukung dalam proses belajar mengajar.

Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk memenuhi hak asasi setiap individu terhadap pendidikan sesuai dengan UUD 1945, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, memastikan akses yang merata bagi semua anak, serta menurunkan angka putus sekolah. Baik pemerintah pusat maupun daerah bertanggung jawab dalam menyediakan dana, sarana, dan bantuan bagi siswa yang membutuhkan.

Program wajib belajar yang sudah berjalan meliputi Wajib Belajar 9 Tahun (SD dan SMP), Wajib Belajar 12 Tahun (hingga SMA/SMK), serta pengembangan PAUD dan Program Peningkatan Mutu Pendidikan Menengah (PMU).

Idealisme dari wajib belajar bertujuan untuk memberikan semua orang kesempatan yang sama dalam belajar, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan kualitas SDM. Jika dilaksanakan dengan benar, generasi mendatang akan lebih cakap dan siap bersaing di tingkat global.

Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan tantangan yang cukup besar. Akses pendidikan masih sulit di wilayah terpencil, di mana terdapat kekurangan guru berkualitas dan fasilitas yang memadai. Kondisi ekonomi memaksa banyak anak untuk putus sekolah demi membantu keluarga. Jarak yang jauh dan infrastruktur yang buruk semakin memperparah kesulitan dalam mengakses pendidikan.

Seringkali, pemerintah dianggap kurang maksimal dalam melaksanakan kebijakan tersebut, bahkan kebijakan seperti sistem zonasi justru memperburuk kesenjangan. Sistem zonasi yang diterapkan untuk meratakan distribusi siswa di sekolah berdasarkan wilayah tempat tinggal, seringkali menjadi masalah ketika kualitas sekolah di area tertentu sangat rendah, sehingga siswa di sana terpaksa menerima pendidikan yang tidak memadai. Hal ini menciptakan ketidakadilan dan memperlebar jurang perbedaan pendidikan antar daerah.

Selain itu, distribusi dana yang tidak merata juga menjadi kendala serius. Banyak daerah yang belum mendapatkan alokasi dana yang cukup untuk pengadaan sarana, pelatihan guru, dan bantuan biaya bagi siswa dari keluarga kurang mampu. Akibatnya, pelaksanaan wajib belajar yang ideal belum dapat dicapai secara menyeluruh.

Kritik dan Saran

Kebijakan wajib belajar 13 tahun memang merupakan langkah penting yang maju, namun tanpa perhatian yang serius terhadap masalah pelaksanaan, program ini bisa jadi hanya akan menjadi wacana tanpa pengaruh yang nyata. Pemerintah perlu memastikan bahwa pendanaan tidak hanya ada dalam dokumen, tetapi benar-benar disalurkan ke sekolah-sekolah di daerah terpencil. Di samping itu, pelatihan bagi guru harus dilakukan secara berkelanjutan agar kualitas pembelajaran tetap berkembang.

Sistem zonasi yang ada juga perlu dievaluasi secara rutin untuk mencegah semakin besarnya ketimpangan dalam kualitas pendidikan antar daerah. Selain peran pemerintah, sejatinya partisipasi masyarakat dan sektor swasta juga harus dimaksimalkan untuk memberikan dukungan yang konkret, baik dalam hal pendanaan, fasilitas, maupun program pendampingan.

Kolaborasi antar kementerian, seperti dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, serta Transmigrasi, perlu diperkuat untuk mengatasi tantangan geografis dan sosial dalam akses pendidikan. Pemerintah daerah juga harus didorong untuk menjadi lebih inovatif dan melibatkan masyarakat dalam mendukung upaya pendidikan.

Peran masyarakat dan sektor swasta sangat penting. Apabila pendanaan tidak mencukupi, mereka bisa memberikan kontribusi melalui penyediaan fasilitas belajar tambahan, program pendampingan, atau beasiswa. Kepedulian dan partisipasi aktif dari semua elemen masyarakat sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif dan berkualitas.

Mewujudkan pendidikan yang adil dan berkualitas bukanlah tanggung jawab satu pihak saja, melainkan kewajiban bersama. Jika kita ingin mewujudkan cita-cita pendidikan wajib 13 tahun, maka semua elemen bangsa harus bersinergi secara konkret. Tanpa adanya komitmen dan kerja sama yang keras, kebijakan ini hanya akan menjadi janji yang tidak berarti. Mari kita dukung perubahan yang nyata demi masa depan generasi bangsa yang lebih cerah.(***)

Penulis opini ini ialah :
Nama : Naila Launa Fauziah
Pendidikan : Mahasiswi UIN STS Jambi
Prodi : Manajemen pendidikan islam

Pos terkait