Opini : Pendidikan Inklusi Merangkul Keberagaman Memupuk Kekuatan

Fathul Rizky, Mahasiswa UIN STS Jambi. Foto : dok pribadi
Fathul Rizky, Mahasiswa UIN STS Jambi. Foto : dok pribadi

Opini ini ditulis oleh : Fathul Rizky *

Pendidikan inklusif merupakan pendekatan pendidikan yang menempatkan semua anak termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus dalam satu sistem pendidikan yang sama, yaitu di sekolah reguler. Inti utamanya bukan sekadar menghadirkan anak-anak tersebut secara fisik di ruang kelas, melainkan membangun lingkungan belajar yang benar-benar menghargai perbedaan dan mampu menyesuaikan diri dengan berbagai kemampuan, latar belakang, dan karakter setiap siswa. Secara konsep, kebijakan ini sangat progresif dan selaras dengan semangat zaman yang menuntut keadilan dan kesetaraan bagi semua.

Bacaan Lainnya

Sebagai mahasiswa yang peduli terhadap isu-isu pendidikan, saya melihat bahwa pelaksanaan pendidikan inklusif di Indonesia masih jauh dari harapan. Meski istilah “sekolah inklusi” kini semakin sering digunakan, penerapannya seringkali hanya bersifat formalitas. Banyak guru belum mendapatkan pelatihan yang memadai, sarana dan prasarana belum menunjang, bahkan akses fisik ke ruang kelas masih menjadi kendala bagi siswa berkebutuhan khusus. Situasi ini menunjukkan bahwa mewujudkan pendidikan inklusif yang benar-benar menyeluruh masih menjadi tantangan besar.
Saya percaya pada pendidikan inklusif karena nilai-nilainya selaras dengan Pancasila, terutama soal keadilan sosial.

Pendidikan seharusnya menjadi jembatan untuk semua anak berkembang sesuai potensinya, bukan malah menjadi penghalang yang membatasi mereka karena perbedaan. Sayangnya, masih banyak anak dengan disabilitas yang tersingkir dari sistem pendidikan utama hanya karena lingkungan kita belum cukup ramah terhadap perbedaan.
Pendidikan inklusif sangat penting karena mencerminkan tiga nilai utama.

Pertama, ini adalah bentuk nyata pemenuhan hak asasi manusia setiap anak berhak atas pendidikan yang berkualitas tanpa diskriminasi. Kedua, pendekatan ini memperkuat nilai-nilai keberagaman dan toleransi, yang sangat relevan dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Ketiga, riset menunjukkan bahwa pembelajaran inklusif tidak hanya bermanfaat bagi siswa disabilitas, tetapi juga meningkatkan empati dan kemampuan sosial anak-anak secara umum.

Namun saya percaya, tantangan terbesar justru bukan pada kebijakan, melainkan pada pola pikir masyarakat. Masih ada anggapan bahwa memiliki anak berkebutuhan khusus adalah beban atau bahkan aib. Bahkan, ada kekhawatiran bahwa anak-anak lain akan “terganggu” bila harus belajar bersama mereka. Di sinilah kita harus mulai bergerak: mengubah cara pandang tersebut menjadi lebih terbuka dan manusiawi. Inklusi bukan hanya soal menyediakan ruang, tapi tentang membangun penerimaan terhadap perbedaan.

Untuk itu,Ada beberapa hal yang menurut saya harus segera dilakukan. Pertama, pelatihan guru harus ditingkatkan secara serius bukan sekadar seminar atau sosialisasi singkat, tapi pelatihan intensif yang memberikan keterampilan praktis. Kedua, infrastruktur sekolah harus benar-benar dibenahi agar inklusif secara fisik maupun psikologis. Ketiga, pendidikan tentang keberagaman dan nilai-nilai inklusi sebaiknya ditanamkan sejak dini dalam kurikulum.

Penting untuk kita pahami bahwa pendidikan inklusi tidak hanya menguntungkan siswa berkebutuhan khusus. Justru anak-anak lainnya juga akan mendapat pengalaman berharga: belajar tentang empati, toleransi, dan menghormati perbedaan. Mereka tumbuh menjadi individu yang lebih utuh, dan siap hidup di tengah masyarakat yang beragam.
Agar semua itu benar-benar berjalan, dibutuhkan keseriusan dari Pemerintah, sekolah, guru, orang tua, dan tentu saja generasi muda seperti kita harus ikut terlibat. Kita punya tanggung jawab moral untuk menyuarakan, mengawal, dan mengupayakan perubahan.

Bagi saya, pendidikan inklusi bukan hanya isu teknis atau kebijakan, tapi soal nilai-nilai kemanusiaan. Dan sebagai bagian dari generasi muda, kita punya tanggung jawab moral untuk terlibat aktif baik dengan menyuarakan, mendukung, maupun mengawasi pelaksanaannya. Karena di dunia yang ideal, tidak seharusnya ada satu pun anak yang kehilangan haknya untuk belajar, hanya karena ia berbeda.(***)

* Opini ini ditulis oleh :

Nama : Fathul Rizky
Pendidikan : Mahasiswa UIN STS Jambi

Pos terkait