Opini : Pendidikan Kita, Antara Harapan dan Realita Yang Belum Selesai

Muhammad Akbar, mahasiswa UIN STS Jambi. Foto : dok pribadi
Muhammad Akbar, mahasiswa UIN STS Jambi. Foto : dok pribadi

Opini ini ditulis oleh : Muhammad Akbar *

Pendidikan selalu menjadi pondasi utama dalam membangun masa depan bangsa. Ia dijadikan alat untuk memutus rantai kemiskinan, memperluas wawasan, dan membentuk manusia yang utuh secara intelektual, emosional, dan moral. Namun, ketika kita menengok realita pendidikan saat ini, muncul banyak pertanyaan: Apakah sistem pendidikan kita benar-benar mendidik? Ataukah ia sekadar mencetak lulusan yang bisa mengikuti ujian dan mengejar nilai?

Bacaan Lainnya

Di tengah laju zaman yang begitu cepat dengan kemajuan teknologi, tantangan ekonomi, dan dinamika sosial yang terus berubah sehingga sistem pendidikan kita saat ini tampak tertinggal. Masih banyak sekolah yang berfokus pada metode penghafalan, bukan pemahaman. Evaluasi siswa masih lebih banyak menilai kemampuan mengerjakan soal pilihan ganda dari pada kemampuan berpikir kritis, berkolaborasi, atau memecahkan masalah dalam dunia nyata.

Kurikulum memang terus berganti. Pemerintah memperkenalkan Kurikulum Merdeka sebagai bentuk adaptasi terhadap kebutuhan abad ke-21. Namun, pertanyaannya bukan hanya soal nama kurikulum, melainkan apakah implementasinya benar-benar “merdeka”? Banyak guru merasa bingung, kurang pelatihan, dan terjebak dalam beban administrasi yang menguras energi. Sementara itu, siswa tetap menjadi objek, bukan subjek dalam proses belajar.

Tidak kalah penting adalah persoalan kesenjangan pendidikan. Anak-anak di kota besar mungkin sudah terbiasa dengan akses internet cepat, laptop pribadi, dan bimbingan belajar. Tapi di pelosok negeri, masih ada anak-anak yang harus berjalan berkilo-kilometer, belajar dengan fasilitas minim, bahkan tak punya guru tetap. Ketika pandemi datang dan sekolah dialihkan ke daring, kesenjangan ini makin terasa. Pendidikan yang seharusnya menjadi hak semua anak, justru berubah menjadi hak istimewa bagi yang punya akses dan privilage.

Selain itu, pendidikan tinggi pun menghadapi tantangannya sendiri. Banyak mahasiswa kuliah demi gelar, bukan demi ilmu. Lulusan sarjana sering kali kebingungan menghadapi dunia kerja karena kampus tidak benar-benar mempersiapkan mereka untuk realita di luar. Di sisi lain, muncul tren belajar alternatif, bootcamp, kursus daring, sertifikasi yang justru lebih relevan dengan kebutuhan industri saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan formal tidak bisa lagi berdiri sendiri ia harus berkolaborasi dan bertransformasi.

Namun, di tengah semua keterbatasan dan kekurangan itu, tetap ada harapan. Banyak guru yang berjuang dengan sepenuh hati, menciptakan inovasi yang hebat walaupun masih minim fasilitas. Banyak siswa yang gigih belajar, meski harus berbagi gawai atau belajar di bawah lampu jalan. Banyak komunitas dan gerakan sosial yang hadir untuk menutup celah yang ditinggalkan sistem.

Pendidikan hari ini sedang berada di persimpangan. Ia bisa menjadi alat pembebasan, tapi juga bisa menjadi sistem yang membelenggu. Semua tergantung pada kita, pemerintah, pendidik, orang tua, dan masyarakat luas. Kita tidak hanya butuh kurikulum baru, tapi juga cara pandang baru terhadap belajar. Kita harus mengubah fokus dari sekadar mengejar nilai menjadi membentuk karakter. Dari guru yang mengajar semua materi, menjadi fasilitator yang menuntun proses berpikir. Dari sekolah sebagai tempat duduk diam, menjadi ruang hidup yang menumbuhkan semangat belajar.

Pendidikan adalah proses panjang, bukan hasil instan. Tapi jika tidak dimulai dari sekarang, kita akan terus tertinggal. Saatnya kita berhenti mengeluh dan mulai bergerak. Karena masa depan anak-anak kita bergantung pada kualitas pendidikan hari ini.(***)

* Penulis opini ini ialah :

Nama: Muhammad Akbar
Pendidikan : Mahasiswa UIN STS Jambi
Fakultas: Tarbiyah dan keguruan
Prodi: Manajemen Pendidikan Islam

Pos terkait